Oleh : Suyuno Saeran
Tidak semua orang punya kesempatan untuk berkeliling daerah dan singgah di pulau satu ke pulau lainnya. Dan inilah sebagian yang bisa kutulis disini setelah empat hari berkunjung ke Pulau Berazam, Kabupaten Karimun.
Perjalanan ke Kabupaten Karimun adalah perjalanan merebut hati bersama H. Ansar Ahmad SE MM dalam rangka sosialisasi Pilgub Kepri tahun 2020. Tentu bukan sekedar perjalanan biasa.
Perjalanan yang dilakukan selama empat empat malam adalah perjalanan memotret suara-suara masyarakat yang mungkin jarang kita dengar. Tidak hanya mereka yang tinggal di pusat-pusat kota tetapi juga mendengar dan menyimak setiap kata, setiap desah nafas, mereka-mereka yang tinggal di pinggiran, pulau dan pesisir.
Secara geografi Kabupaten Karimun merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau. Ibu kota Kabupaten Karimun terletak di Tanjung Balai dan secara keseluruhan Karimun memiliki luas wilayah 7.984 km², dengan luas daratan 1.524 km² dan luas lautan 6.460 km². Kabupaten ini terdiri dari 198 pulau dengan 67 diantaranya berpenghuni.
Kabupaten Karimun memiliki jumlah penduduk sebanyak 251.510 jiwa berdasarkan sensus penduduk tahun 2020. Wilayahnya berbatasan dengan Kepulauan Meranti di sebelah barat, Pelalawan dan Indragiri Hilir di selatan, Selat Malaka di sebelah utara, dan Kota Batam di sebelah timur.
Berkunjung ke Karimun sebenarnya bukan kunjungan yang pertama kali. Sejak Bupati Karimun yang pertama HM Sani sampai saat ini entah yang ke berapa kali saya datang ke kabupaten yang terkenal dengan tambang batu granit ini.
Namun kunjungan kali ini terhitung cukup istimewa. Selain bisa menelusuri setiap jalan dan gang di pusat-pusat kota, saya juga berkesempatan berkeliling dan singgah hampir di semua pulau yang menyangga Kabupaten Karimun.
Mulai dari Pulau Kundur dengan pusat kotanya di Tanjung Batu, Pulau Durai, Pulau Jang, Pulau Tulang, Pulau Moro Kecil, Pulau Moro Besar dan lainnya.
Sebenarnya ada beberapa daerah dan pulau yang cukup menarik. Karena potensi alamnya yang indah beberapa pulau tersebut cukup potensial untuk dijadikan tempat wisata. Salah satunya Pulau Tulang. Pulau yang hanya memakan waktu perjalanan sekitar setengah jam dari Tanjung Balai ini memiliki hamparan pantai yang eksotis. Pantai pasir putih yang panjang seolah jadi sabuk mutiara yang melingkari desa yang berpenduduk kurang lebih 425 kepala keluarga ini.
Tidak hanya itu, suasana Desa Tulang juga sangat menyejukkan dengan deretan pohon kelapa yang banyak menghiasi area kawasan pinggir pantai. Puluhan sampan nelayan yang berjejer rapi di tepi pantai ditambah jalanan desa yang bersih serta asri menambah betah siapapun yang berkunjung ke daerah ini. Belum lagi di pinggiran pantai banyak dibangun pondok-pondok kecil yang bersih tempat untuk duduk dan bersantai sambil menikmati hembusan angin laut yang segar.
Tidak hanya Pulau Tulang, beberapa pulau lainnya yang menyimpan keindahan yang tersembunyi juga ada di Pulau Moro. Kalau tidak percaya sesekali datanglah ke Desa Buluh Patah Kecamatan Moro.
Desa Buluh Patah yang secara geografis lebih dekat ke Batam merupakan daerah yang terkenal dengan tambang pasir daratnya. Namun kalau kita memasuki desa ini melalui pelabuhan di desa itu, akan disuguhkan pemandangan yang luar biasa.
Jalan pelantar pelabuhan seolah membelah bagian tengah perbukitan. Kita akan melihat landscape perbukitan yang hijau dengan air laut yang jernih begitu kita menginjakkan kaki di pelabuhan. Kekayaan lautnya masih dihiasi berbagai jenis ikan. Sehingga tidak mengherankan bila banyak pemancing maniak dari Batam dan Singapura yang berkunjung ke Desa Buluh untuk sekedar menyalurkan hobinya memancing ikan.
Kawasan perbukitan yang menjadi landscape Desa Buluh juga masih dihiasi rimbunan belukar dan pepohonan yang lebat. Di tempat ini aneka satwa seperti kera dan babi hutan masih banyak berkeliaran. Bahkan kadang para satwa itu turun ke pemukiman-pemukiman warga untuk mencari makanan. Sehingga tidak mengherankan kalau para pemburu babi hutan acap kali datang ke desa ini untuk liburan sekaligus berwisata menembak babi.
Masih di Pulau Moro ada sebuah desa yang namanya Nyiur Permai. Ketika Pak Ansar Ahmad melakukan sosialisasi Pilgub Kepri di halaman rumah Pak Johan di desa itu, setelah membantu menyiapkan segala sesuatunya, saya duduk di balai-balai belakang rumah yang berbatasan langsung dengan laut. Di seberang laut terlihat Pulau Subi dengan hutan bakaunya yang hijau.
Dari balai belakang rumah itu terlihat rumah-rumah penduduk yang sederhana dengan arsitektur ala kadarnya. Di laut yang tidak jauh dari rumah Pak Johan, sampan dan perahu lalu lalang penuh dengan aktivitas kehidupan.
Kebanyakkan masyarakat di Nyiur Permai adalah nelayan yang menggantungkan hidupnya di laut dan jaring ikan. Kebanyakan masyarakat di desa ini cukup sejahtera. Hal ini bisa dilihat dari rumah-rumah mereka yang kebanyakan sudah cukup bagus. Namun ada juga yang hidup dalam kekurangan yang menggambarkan betapa susahnya perjuangan sekedar menyelenggarakan kehidupan cukup sandang dan pangan. Dan karena kekurangan menjadikan estetika tidak begitu penting dalam kehidupan mereka. Karena itu mereka yang masih dalam standart kurang mampu perlu mendapat perhatian khusus agar kehidupan mereka terangkat secara ekonomi.
Tetapi, rata-rata masyarakat Nyiur Permai cukup bahagia. Hal ini terlihat dari tatapan mata dan tawa yang dihadirkan. Kebahagiaan memang tidak enggan menyapa siapa saja yang hatinya tulus menjalani setiap detak nadi kehidupan.
Setiap bertemu masyarakat Nyiur Permai saya selalu mengulas senyum. Saya begitu terpesona dengan dengan tawa mereka yang sangat original. Sungguh pemandangan yang sangat indah. Beberapa jepretan HP androidku kuarahkan ke mereka. Tanpa perintah, mereka bereksen dengan senang sepenuh hati. Ada kehangatan memenuhi rongga dada. Kebahagiaan mereka sore itu jadi oase yang menular perlahan menjalar ke segenap jiwa.
Setelah cukup lama di Nyiur Permai, tiba-tiba langit berubah temaram dan kelap-kelip cahaya dari rumah penduduk dan pelahu nelayan yang bersandar mulai menghiasi langit. Sayup-sayup juga mulai terdengar suara adzan dari masjid. Suaranya menggema menyambut datangnya waktu maghrib di Pulau Moro. Menggetarkan jiwa, menuntun hati yang rindu untuk segera bersimpuh kehadapan sang pemberi kehidupan. Aku pun larut dalam pujian syukur dan doa-doa. Terima kasih ya Allah atas segala karunia-Mu dalam hidup hari ini, kemaren, dan hari-hari yang akan datang.
Selepas Maghrib kami dan rombongan pulang ke Tanjungpinang. Membelah laut menunjang karang. Rasa lelah kami abaikan karena wajah-wajah rindu menanti dengan sepenuh hati.