TANJUNGPINANG, GURINDAM.TV – Polemik pelantikan Hasan sebagai Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) terus memicu gelombang kritik. Salah satu suara paling lantang datang dari Adiya Prama Rivaldi, Ketua Jaringan Pengawas Kebijakan Pemerintah Provinsi Kepri (JPKP).
Adiya menyebut bahwa pelantikan Hasan—yang tengah berstatus sebagai tersangka kasus pemalsuan dokumen surat tanah—merupakan bentuk pembangkangan terhadap etika pemerintahan serta pelecehan terhadap prinsip tata kelola birokrasi yang bersih.
“Bagaimana mungkin seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pemalsuan surat tanah justru dihadiahi jabatan strategis? Ini bukan hanya pelanggaran etika, tapi juga penghinaan terhadap akal sehat publik,” tegas Adiya dalam keterangan resminya, Rabu (28/5).
Status Tersangka Bukan Hal Ringan
(Foto: Tersangka Hasan di tahan dan diborgol tangannya saat rekonstruksi kasus tindak pidana pemalsuan dokumen surat tanah di Bintan )
Hasan diketahui telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Bintan sejak April 2024, bersama dua orang rekannya.
Mereka diduga menerbitkan 19 Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT) palsu di Kelurahan Sei Lekop, Kecamatan Bintan Timur. Bahkan, dua dari SKPT itu tercatat atas nama Hasan sendiri.
Dari transaksi lahan seluas 3,7 hektare tersebut, Hasan diduga meraup keuntungan pribadi sebesar Rp115 juta, sedangkan dua rekannya memperoleh puluhan juta lainnya.
Adiya menekankan bahwa kasus ini tidak bisa dipandang sebelah mata karena menyangkut kejahatan terhadap sistem administrasi negara.
“Ini bukan perkara sepele. Pemalsuan dokumen negara adalah kejahatan berat. Ancaman hukumannya mencapai 8 tahun penjara. Tapi kenapa justru diberi jabatan baru oleh Gubernur? Apakah integritas birokrasi sudah semurah ini?” katanya.
Restorative Justice Dinilai Akal-Akalan
Lebih lanjut, Adiya mengkritik keras wacana penerapan restorative justice sebagai alasan penghentian perkara (SP3) terhadap Hasan. Ia menyebutnya sebagai upaya penyelamatan hukum yang menyimpang dan tidak memenuhi syarat.
“Jangan bodohi rakyat. Restorative justice itu hanya untuk perkara ringan, dengan ancaman di bawah lima tahun dan kerugian di bawah Rp2,5 juta. Kasus ini jelas bukan itu. Ini rekayasa hukum demi melindungi pejabat, bukan demi keadilan,” ujar Adiya.
Ia mengingatkan bahwa pemalsuan dokumen adalah delik umum, bukan delik aduan, sehingga tidak bisa dihentikan hanya karena adanya perdamaian antara pelapor dan tersangka.
“Jika hukum bisa ditawar hanya karena posisi atau kedekatan politik, maka tidak ada lagi makna hukum bagi rakyat kecil. Ini bukan soal dendam, ini soal martabat hukum,” tambahnya.
Kritik Keras kepada Gubernur dan Partai Penguasa
(Foto: Tersangka Hasan di tahan dan diborgol tangannya saat rekonstruksi kasus tindak pidana pemalsuan dokumen surat tanah di Bintan )
Dalam pernyataannya, Adiya juga menyesalkan sikap pasif Gubernur Kepulauan Riau, Ansar Ahmad, yang dinilai “terlalu sunyi” dalam menyikapi kasus ini. Ia meminta agar Hasan segera dinonaktifkan demi menjaga wibawa pemerintahan daerah.
“Gubernur tidak bisa terus bersembunyi di balik alasan administratif. Diamnya pemimpin berarti pembiaran. Jika Hasan tidak dicopot, maka Gubernur turut menanggung beban moralnya,” tegasnya.
Tak hanya kepada Gubernur, JPKP juga menagih tanggung jawab politik kepada Nyanyang Haris Pratamura, Iman Setiawan Ketua DPD Partai Gerindra Kepri yang juga Ketua DPRD Kepri, yang disebut sebagai partai penguasa di pemerintahan daerah maupun pusat saat ini.
“Kami minta Pak Nyanyang dan Iman Setiawan jangan menutup mata. Sebagai partai penguasa, dia punya tanggung jawab moral untuk bersikap. Jangan sampai Gerindra dianggap mendiamkan penyimpangan hanya karena pelaku adalah bagian dari lingkar kekuasaan,” kata Adiya.
Seruan untuk Intervensi Nasional
JPKP mendesak Kapolri dan Kabareskrim untuk segera mengambil alih proses hukum kasus ini agar tidak mandek di level daerah. Selain itu, Kejaksaan Agung juga diminta menolak segala bentuk SP3 atau restorative justice yang tidak sesuai prosedur.
“Kalau kasus ini dihentikan, maka preseden buruk akan menjalar. Besok-besok, izin reklamasi, Izin Minuman Alkohol dan dokumen tambang pun bisa dipalsukan dan dimaafkan begitu saja.
Ini ancaman nyata terhadap keadilan dan negara hukum,” pungkasnya.
Kasus Hasan adalah potret buram birokrasi ketika etika dikalahkan oleh kompromi. Ketika hukum tunduk pada politik, maka keadilan kehilangan maknanya. Publik menanti sikap tegas dari para pemimpin—bukan pembiaran dalam sunyi.
PNS Status Tersangka Pemberhentian Sementara dari Jabatan
Sebagaimana di ketahui, seorang PNS yang menjadi tersangka tindak pidana akan diberhentikan sementara dari jabatannya. Pemberhentian sementara ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) Pasal 88.
Pemberhentian sementara berlaku sejak PNS ditahan dan berakhir setelah ada keputusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap.
Elaborasi:
Pemberhentian Sementara (Pasal 88 UU ASN):
PNS yang ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana akan diberhentikan sementara dari jabatannya.
Pemberhentian Sementara Berlaku Sejak Ditahan:
Pemberhentian sementara berlaku sejak PNS ditahan oleh pihak yang berwajib, misalnya kepolisian atau kejaksaan.
Pemberhentian Sementara Berakhir Setelah Ada Keputusan Pengadilan:
Pemberhentian sementara akan berakhir setelah ada putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap.
Uang Pemberhentian Sementara:
PNS yang diberhentikan sementara akan menerima uang pemberhentian sementara sebesar 50% dari penghasilan jabatan terakhirnya.
Pemberhentian Sementara Tidak Sama dengan Pemberhentian:
Pemberhentian sementara adalah pemberhentian yang bersifat sementara, bukan pemberhentian permanen. PNS tetap memiliki status sebagai PNS selama pemberhentian sementara.
Keputusan Pengadilan:
Jika PNS dinyatakan bersalah dan dihukum penjara, maka statusnya sebagai PNS akan diakhiri. Jika PNS dinyatakan tidak bersalah, maka dapat diaktifkan kembali sebagai PNS dan menerima hak kepegawaiannya kembali.
Contoh:
Jika seorang PNS menjadi tersangka kasus korupsi dan ditahan, maka PNS tersebut akan diberhentikan sementara dari jabatannya. Pemberhentian sementara ini akan berlaku sejak PNS ditahan dan berakhir setelah ada putusan pengadilan. Jika PNS dinyatakan bersalah, maka akan diberhentikan tidak dengan hormat sebagai PNS. Jika PNS dinyatakan tidak bersalah, maka akan diaktifkan kembali sebagai PNS dan menerima hak kepegawaiannya kembali.
Kesimpulan:
Pemberhentian sementara adalah mekanisme yang digunakan untuk menjaga kelancaran tugas pemerintahan dan proses hukum yang sedang berjalan. Pemberhentian sementara ini tidak berarti PNS tersebut kehilangan statusnya sebagai PNS, tetapi hanya sementara saja. ( Tim/ Red )
No comment