Dua Pimpinan KPK Diduga Tersandung Pelanggaran Etik


JAKARTA, GURINDAM.TV — Setelah Firli Bahuri menjadi tersangka kasus korupsi, kini dua rekannya sesama pimpinan KPK, yaitu Alexander Marwata dan Nurul Ghufron, dilaporkan atas dugaan pelanggaran etik.

Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) tengah mendalami aduan dugaan pelanggaran etik dua pimpinan KPK, Alexander Marwata dan Nurul Ghufron. Keduanya diduga menggunakan pengaruhnya untuk keuntungan pribadi.

“Ya, ada pengaduan yang melibatkan Pak Alex dan Pak Ghufron. Pengaduannya soal Pak Alex memberi nomor telepon temannya yang ada di Kementerian Pertanian,” ujar anggota Dewas KPK Harjono pada Minggu, 13 Januari 2024 dikutip Detik.com.

Sumber internal KPK yang dihubungi memerinci, Alex memiliki rekan seangkatan saat menempuh pendidikan D4 Jurusan Akuntansi di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) yang kini bekerja di Kementan.

“Pak Alex itu dimintai tolong oleh Pak Ghufron, apakah ada kenalan di Kementan. Ternyata ada (pejabat Kementan) temannya dulu seangkatan waktu di STAN. Kemudian dikasihlah nomor teleponnya ke Pak Ghufron. Pak Ghufron menelepon pejabat Kementan itu, lalu ke Kasdi (Subagyono) juga,Kasdi Subagyono pada saat itu menjabat Sekretaris Jenderal Kementan dan kini menjadi tersangka KPK dalam kasus korupsi bersama eks Mentan Syahrul Yasin Limpo (SYL).

Tiga sumber di KPK mengungkapkan, keperluan Ghufron ialah meminta pemindahan keponakannya dari kantor pusat Kementan di Jakarta ke salah satu kantor di Kota Malang, Jawa Timur.

Anggota Dewas KPK Albertina Ho membenarkan hal tersebut sembari menyatakan pihaknya masih menyelidiki laporan. “Kalau yang tertulis di laporannya ya menggunakan pengaruhnya untuk memindahkan saudaranya dan sudah berhasil. Itu laporannya. Namun kami masih dalam tahap pengumpulan informasi dan bukti sehingga belum bisa memberikan informasi lebih jauh,” jelas Albertina, Selasa, 16 Januari 2024.

Selain itu, ada satu laporan tersendiri yang menuduh Alex berkomunikasi dengan Kasdi Subagyono terkait pengadaan pupuk di Klaten, Jawa Tengah. Saat dimintai konfirmasi mengenai kebenaran laporan ini, Albertina menanggapi singkat. “Yang itu belum kami lakukan pemeriksaan lebih lanjut,” ujarnya.

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengaku mengetahui siapa pembuat laporan. Dia juga bilang, pernah diminta melaporkan dugaan pelanggaran etik kedua pimpinan KPK tersebut.

“Saya pernah ketemu dengan whistleblower, tapi saya dorong dia untuk lapor sendiri,” kata Boyamin.

Kasdi Subagyono mengaku telah diperiksa terkait dugaan pelanggaran etik baru yang menyangkut Alex dan Ghufron. Hal ini disampaikan oleh pengacaranya, Ervin Lubis.

“Saya sudah infokan ke Pak Kasdi, tanggapan beliau hanya bahwa beliau sudah diperiksa di Dewas dan Bareskrim dan meminta untuk substansi ditanyakan ke Dewas dan penyidik Bareskrim,” ucap Ervin.

Sementara itu, Humas Kementan menyatakan tidak tahu-menahu mengenai kasus teranyar yang melibatkan komunikasi Kasdi Subagyono dan pejabat Kementan dengan dua pimpinan KPK itu. Karena itu, ia enggan menanggapi.

Tanggapan Alex dan Ghufron

Dimintai konfirmasi mengenai tuduhan memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi, baik Alexander Marwata maupun Nurul Ghufron tidak membenarkan ataupun membantah.

Alex awalnya meminta menanyakan masalah tersebut kepada Dewas KPK atau Albertina Ho. “Tanya ke Dewas atau Bu Aho. Dia kan yang ngomong ke media. Saya malah nggak tahu substansi laporannya. Dan saya juga nggak ambil pusing dengan laporan itu,” jawabnya kepada detikX pada Rabu, 17 Januari 2024.

Setelah dijabarkan mengenai substansi pelaporan atau tuduhan yang dialamatkan kepadanya, jawaban Alex, “Saya ketawa saja, deh.”

Senada dengan Alex, Nurul Ghufron juga hemat menjawab. “Saya belum (dimintai) klarifikasi Dewas.”

Setelah disampaikan informasinya, ia tetap tidak membantah atau membenarkan. “Tetap harus kita hormati proses di Dewas, jangan didahului. Nanti saya jelaskan setelah saya dimintai keterangan di Dewas, ya,” ujarnya pada Selasa kemarin.

Aduan atas Alex dan Ghufron menambah daftar dugaan pelanggaran etik pimpinan KPK di era Presiden Jokowi. Dari enam pimpinan KPK 2019-2024, hanya Nawawi Pomolango yang belum pernah tersandung kasus etik.

Lili Pintauli Siregar pada 2021 terbukti melakukan pelanggaran etik berat, yaitu menyalahgunakan kewenangan. Ia menekan tersangka kasus korupsi eks Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial untuk mengurus kepegawaian adik iparnya di PDAM Tirta Kualo, Tanjungbalai. Lili kembali terjerat kasus etik pada 2022, terkait penerimaan gratifikasi berupa tiket dan fasilitas hotel untuk menonton MotoGP Mandalika, yang tidak ia laporkan ke KPK.

“Kami klarifikasi dan lakukan pemeriksaan, lalu kami sepakat, dia melakukan pelanggaran etik berat,” jelas Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean saat itu.

Berikutnya, Johanis Tanak pada September 2023 dilaporkan ke Dewas KPK lantaran ditemukannya bukti percakapan dirinya dengan Kabiro Hukum Sekretariat Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Muhammad Idris Froyoto Sihite, yang sedang beperkara di KPK. Namun Dewas menyatakan Johanis Tanak tak terbukti melanggar etik.

Sedangkan Firli Bahuri sudah langganan dilaporkan atas pelanggaran etik, mulai naik helikopter saat kunjungan kerja, diduga membocorkan hasil penyelidikan, hingga bertemu dengan pihak beperkara di KPK maupun calon tersangka. Yang terbaru, ia dinyatakan melanggar kode etik berat untuk, pertama, berhubungan dengan Syahrul Yasin Limpo yang perkaranya ditangani KPK; kedua, tidak melaporkan ke sesama pimpinan KPK soal pertemuannya dengan SYL di GOR Tangki; dan ketiga, tidak melaporkan sejumlah harta kekayaan berupa valuta asing (valas), bangunan, dan aset. Firli saat ini sudah dilucuti jabatannya sebagai Ketua KPK dan menjadi tersangka dugaan pemerasan kepada SYL di Polda Metro Jaya.

Eks penyidik KPK Yudi Purnomo Harahap menyatakan keprihatinannya atas situasi di KPK ini. Di komisi antirasuah itu kini makin banyak terungkap kasus korupsi hingga pelanggaran etik yang melibatkan pegawai hingga pimpinannya sendiri.

“Kejadian ini menunjukkan bahwa benar teori ikan busuk dari kepala,” kata Yudi.

Menurut Yudi, saat ini adalah kesempatan KPK untuk bersih-bersih dari segala tindakan pegawai maupun pimpinannya yang bukan hanya melanggar etik, tapi juga melakukan perbuatan pidana. “Banyaknya pimpinan maupun pegawai terseret kasus pidana dan etik tentu mengganggu penindakan yang dilakukan KPK dalam menangani kasus korupsi, sehingga inilah saatnya KPK bersih-bersih dan memperbaiki sistem antikorupsi di tubuhnya sendiri,” ujar Yudi. (detik.com )

 

 

 

No comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *