TANJUNGPINANG, GURINDAM.TV — Toxic masculinity, atau maskulinitas beracun, sering mendorong pria untuk memprioritaskan pekerjaan atau bersikap pasif di rumah, yang dapat menyebabkan fenomena fatherless—ketidakhadiran ayah secara emosional atau fisik dalam kehidupan anak.
Di Indonesia, budaya patriarki memperkuat toxic masculinity. Pria sering dianggap sebagai “kepala keluarga” yang tugasnya hanya mencari nafkah, sementara tugas pengasuhan dan rumah tangga dianggap ranah ibu. Misalnya, dalam banyak keluarga tradisional, pria diizinkan untuk bersantai setelah bekerja, sementara ibu menangani semua urusan rumah. Sikap ini diperparah oleh budaya “memanjakan pria,” di mana pria, terutama di lingkungan keluarga ini, sering diperlakukan sebagai “raja di rumah” yang tidak perlu terlibat dalam pekerjaan domestik. Di sisi lain, pria di perkotaan yang sibuk sering terjebak dalam budaya kerja yang menuntut, bekerja hingga larut malam untuk memenuhi ekspektasi sebagai penyedia.
Media sosial juga memperkuat stereotip ini. Pria didorong untuk menampilkan kesuksesan melalui simbol status, seperti mobil mewah atau jabatan tinggi, yang meningkatkan tekanan untuk fokus pada karier. Akibatnya, banyak pria kehilangan waktu untuk membangun hubungan emosional dengan anak-anak mereka, menciptakan generasi yang merasa fatherless meskipun ayah mereka ada di rumah. Penelitian menunjukkan bahwa fatherless berdampak buruk pada perkembangan emosional dan sosial anak.
Toxic masculinity mengacu pada norma budaya yang mengaitkan maskulinitas dengan sifat-sifat seperti dominasi, ketidakpekaan emosional, atau fokus berlebihan pada kesuksesan finansial. Menurut American Psychological Association, toxic masculinity mendorong pria untuk menekan emosi, mengutamakan karier, dan menghindari tugas domestik, yang dianggap “kurang maskulin” (American Psychological Association, 2019). Di Indonesia, norma ini terlihat dalam ekspektasi bahwa pria harus menjadi pencari nafkah utama atau sikap bahwa tugas rumah tangga adalah “pekerjaan wanita.”
Fatherless tidak hanya berarti ayah yang tidak hadir secara fisik, tetapi juga ayah yang absen secara emosional—misalnya, ayah yang terlalu sibuk bekerja atau pasif di rumah karena merasa tugas pengasuhan bukan tanggung jawabnya. Penelitian dari Journal of Child Psychology and Psychiatry menunjukkan bahwa ketidakhadiran ayah berkorelasi dengan masalah perilaku, harga diri rendah, dan kesulitan sosial pada anak (McLanahan et al., 2020).
Dampak Fatherless
Ketidakhadiran ayah berdampak besar pada anak. Penelitian dari Child Development menunjukkan bahwa anak-anak dengan ayah yang kurang terlibat cenderung memiliki harga diri rendah, kesulitan dalam hubungan sosial, dan risiko lebih tinggi untuk masalah perilaku (Sarkadi et al., 2008). Di Indonesia, ini terlihat pada anak-anak yang merasa jauh dari ayah mereka, sering kali karena ayah hanya berinteraksi secara dangkal, seperti bertanya tentang sekolah tanpa benar-benar mendengarkan.
Bagi keluarga, fatherless menciptakan ketidakseimbangan. Ibu yang menanggung beban pengasuhan sendirian mungkin merasa kewalahan, yang dapat memicu konflik pernikahan. Menurut The Pew Research Center, ketidakseimbangan dalam pembagian tugas rumah tangga menyebabkan ketegangan dalam 56% hubungan (Parker & Wang, 2015). Pria yang absen juga berisiko merasa terisolasi dari keluarga, yang dapat memperburuk kesehatan mental mereka.
Solusi untuk Mengatasi Toxic Masculinity dan Fatherless
Pria dapat mengatasi toxic masculinity dan mencegah fatherless dengan langkah-langkah berikut, yang dilansur dari Harvard Business Review:
Pria perlu mengatur waktu untuk memastikan ada ruang untuk keluarga. Ini bisa berarti menolak lembur yang tidak perlu atau meminta jam kerja fleksibel. Harvard Business Review menunjukkan bahwa ayah yang meluangkan waktu untuk keluarga melaporkan kepuasan hidup yang lebih tinggi (Harrington, 2019).
1. Menyeimbangkan Pekerjaan dan Keluarga
Pria perlu mengatur waktu untuk memastikan ada ruang untuk keluarga. Ini bisa berarti menolak lembur yang tidak perlu atau meminta jam kerja fleksibel. Harvard Business Review menunjukkan bahwa ayah yang meluangkan waktu untuk keluarga melaporkan kepuasan hidup yang lebih tinggi (Harrington, 2019).
Contoh Praktis: Sisihkan satu jam setiap malam untuk mengobrol atau bermain dengan anak, tanpa gangguan ponsel.
2. Berbagi Tugas Rumah Tangga
Berbagi tanggung jawab domestik dengan pasangan membantu menciptakan lingkungan yang adil. Di Indonesia, ini berarti menantang norma bahwa tugas rumah adalah “pekerjaan wanita.”
Contoh Praktis: Ambil alih tugas seperti mencuci piring atau membantu anak mengerjakan PR beberapa kali seminggu.
3. Menunjukkan Kasih Sayang
Menantang stereotip bahwa pria harus “keras” dengan menunjukkan kasih sayang kepada anak, seperti memeluk atau mendengarkan cerita mereka, memperkuat ikatan emosional.
Contoh Praktis: Biasakan mengucapkan “Aku sayang kamu” atau memeluk anak sebelum mereka tidur.
4. Komunikasi Terbuka dengan Pasangan
Diskusi terbuka dengan pasangan tentang pembagian tugas dapat mencegah ketegangan. Pria perlu mendengarkan kebutuhan pasangan dan bekerja sama untuk menciptakan keseimbangan.
Contoh Praktis: Adakan obrolan mingguan untuk membahas jadwal dan tanggung jawab keluarga.
5. Mengelola Stres
Pria perlu mengelola stres agar tidak membawa beban pekerjaan ke rumah. Teknik seperti olahraga atau meditasi dapat membantu.
Contoh Praktis: Luangkan 10 menit untuk berjalan kaki setelah pulang kerja untuk menjernihkan pikiran.
Toxic masculinity yang mendorong pria untuk fokus pada pekerjaan atau bersikap pasif di rumah adalah akar dari fenomena fatherless di banyak keluarga Indonesia. Norma budaya yang menekankan peran pria sebagai pencari nafkah atau “raja di rumah” sering kali membuat ayah absen secara emosional, berdampak buruk pada anak dan keluarga.
Dengan menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga, berbagi tugas rumah tangga, menunjukkan kasih sayang, berkomunikasi terbuka, dan mengelola stres, pria dapat mengatasi toxic masculinity dan menjadi ayah yang hadir. Penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan ayah memperkuat kesejahteraan anak dan keluarga. Dengan langkah sederhana ini, pria dapat membangun hubungan yang bermakna dan menghindari jebakan fatherless yang merugikan. (Med/Aulia )


No comment