SOLO, GURINDAM.TV — Rumah Makan Ayam Goreng Widuran, Solo bikin geger masyarakat dan pelanggan menjual produk non halal. Rumah Makan di Jalan Sutan Syahrir, Widuran itu memasak makanan tidak halal usai banyak review dari google yang merasa dibohongi.
Manajemen warung yang berdiri 1973 ini juga baru memberitahu rumah makan tersebut tidak halal usai viral di media sosial.
Hingga akhirnya, seorang warga Solo yang juga pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Nahdlatul Ulama (NU), Mochammad Burhanudin, resmi melaporkan pemilik Rumah Makan Ayam Goreng Widuran ke Mapolresta Surakarta pada Senin (26/5).
Tidak tanggung-tanggung, pemilik Rumah Makan Ayam Widuran itu langsung dilaporkan dengan tiga pelanggaran utama, UU Jaminan Produk Halal, UU Perlindungan Konsumen dan dugaan penipuan.
Humas DSKS, Endro Sudarsono menyatakan pelapor juga menyertakan bukti-bukti, seperti unggahan media sosial, testimoni konsumen, serta pernyataan dari tokoh publik termasuk anggota DPRD Kota Solo dan keluarga Wali Kota Solo Respati Ardi yang merasa dirugikan.
Lalu sebenarnya bagaimana proses sertifikasi halal di Indonesia?
Sebelum Ada UU Cipta Kerja
Sebelum disahkannya UU Cipta Kerja pada tahun 2020, proses sertifikasi halal di Indonesia diatur secara ketat melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Proses ini bersifat sentralistik, dengan alur birokrasi yang panjang dan aktor utama yang terbatas.
Adapun tahapan utama proses sertifikasi halal sebagai berikut:
1. Pengajuan Permohonan ke BPJPH
Pelaku usaha yang ingin mendapatkan sertifikat halal wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kementerian Agama.
2. Pemeriksaan oleh LPPOM MUI
BPJPH kemudian menunjuk satu-satunya lembaga pemeriksa halal saat itu, yaitu LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia), untuk melakukan audit atau pemeriksaan kehalalan produk. Audit dilakukan secara menyeluruh mulai dari bahan baku, proses produksi, kebersihan alat produksi dan sistem jaminan halal di perusahaan.
3. Sidang Fatwa MUI
Hasil audit dari LPPOM MUI diserahkan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang kemudian melakukan sidang fatwa halal. Di sinilah keputusan kehalalan suatu produk ditentukan berdasarkan prinsip-prinsip syariah Islam.
4. Penerbitan Sertifikat Halal oleh BPJPH
Setelah menerima hasil fatwa dari MUI, barulah BPJPH menerbitkan sertifikat halal secara resmi kepada pelaku usaha.
5. Berlaku Lima Tahun
Setelah menerima sertifikasi halal, pelaku usaha harus melakukan perpanjangan. Alasannya karena sertifikasi itu hanya berlaku lima tahun sejak tanggal diterbitkan.
Pelaku usaha wajib mengajukan perpanjangan sertifikat halal paling lambat 3 bulan sebelum masa berlakunya habis. Selama masa berlaku tersebut, pelaku usaha juga wajib menjaga konsistensi kehalalan produk, dan melaporkan perubahan bahan atau proses jika ada.
Setelah UU Cipta Kerja
Dengan berlakunya UU Cipta Kerja, pemerintah memperkenalkan sejumlah penyederhanaan dalam proses sertifikasi halal. Salah satu perubahan terbesar adalah pengakuan terhadap Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) non-MUI yang terakreditasi, serta keterlibatan Pendamping Proses Produk Halal (PPH) untuk mempermudah pelaku UMK.
BPJPH kini menjadi lembaga utama yang mengatur seluruh proses sertifikasi, dari pendaftaran hingga penerbitan sertifikat. Sedangkan MUI tetap berperan dalam menetapkan kehalalan produk melalui fatwa.
Lebih jauh, UU Cipta Kerja juga membuka jalur self-declare atau pernyataan halal oleh pelaku UMK, didampingi oleh Pendamping PPH. Ini mempercepat proses dan menekan biaya sertifikasi halal, tanpa mengabaikan prinsip-prinsip syariah.
1. Dua Jalur Mekanisme Sertifikasi Halal
UU Cipta Kerja memperkenalkan dua skema sertifikasi:
Reguler: Melalui audit oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), seperti sebelumnya.
Self-declare: Jalur deklarasi mandiri oleh pelaku UMK dengan syarat sederhana, tanpa audit LPH.
Self-declare hanya berlaku bagi UMK yang menggunakan bahan dan proses yang dipastikan halal, serta dibuktikan melalui sistem jaminan produk halal.
2. Masa Berlaku Sertifikat Halal
UU Cipta Kerja menghapus ketentuan masa berlaku 5 tahun. Sertifikat halal berlaku selama produk tidak mengalami perubahan bahan dan/atau proses produksi.
Perpanjangan tidak diperlukan selama tidak ada perubahan signifikan. Sehingga mengurangi beban administratif dan biaya bagi pelaku usaha.
3. Kewenangan Fatwa Halal
Proses penetapan kehalalan tidak lagi eksklusif oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Komite Fatwa Produk Halal (KFPH) dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) untuk membantu proses fatwa halal.
4. Waktu Penyelesaian Sertifikasi
Sertifikasi halal harus diselesaikan dalam waktu paling lama 21 hari kerja, yang sebelumnya bisa memakan waktu lebih lama karena birokrasi. Selain itu, UU Cipta Kerja mengamanatkan sertifikasi halal gratis untuk pelaku UMK dalam skema self-declare.
(Med/Red )
No comment